Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Kamis, 31 Januari 2013

SERAT PAMORING KAWULA GUSTI

Motto : Carilah Ilmu untuk mengenal diri sendiri sebagai penghantar untuk mengenal Tuhan.

TERJEMAHAN BEBAS SERAT PAMORING KAWULA-GUSTI
Oleh : Pujo Prayitno

Serat Pamoring Kawula-Gusti termasuk Serat Ilmu batin, yang digubah oleh Raden Ngabei Rangga Warsito, digubah menjelang beliau akan meninggal dunia kurang enam bulan. Digubah dalam bahasa Jawa berbentuk Tembang Macapat. Saduran dan terjemahan bebas fersi penulis, sebagai berikut :

Tembang Dandanggula :

1.
RA-rasing tyas sinawung hartati; DEN-irarsa amedar sarkara; NGA-yawara puwarane; BE-rawaning madangkung; I-nukara ri Sukra Kasih; RONG-puluh wulan Rajab; GA-ti kanemipun; WAR-sa Jimakir Sancaya, SI-nengkalan : “Nembah Muluk Ngesti Aji”; TA-ta wedaring kata.


Maksudnya, kurang lebih :
Suatu cita-cita dalam jiwa yang digubah dalam lagu Dandanggula’ Dengan tujuan akan menggelar ilmu dengan cara serba manis. Namun hanyalah cerita tanpa makna, Meskipun bayangan maknanya yang tersirat sangatlah menakutkan. Digubah pada hari Jum’at Kliwon tanggal 20 Bulan Rajab, Wuku Srigati Mangsa Kanem, Tahun Jimakir dalam Windu Sancaya, dengan tanda tahun “Nembah (2) Muluk (0) Ngesti (8) Aji (1), Tahun 1802 Tahun Jawa. Digelar dengan cara yang baik, memakai Nama Sandi : Raden Ngabei Ranggawarsita.

2.

Heh ta risang Dwijatmaja sami; Parsudinen dadining parasdya, Pinirih ajwa kongsi kecer; Cangkok lan isinipun; Yen kecera salah sawiji; Sayekti dadi tuna; Tiwas Anggeguru; Durung wruh ing pamoriro; Moring semu prasemon Gaibing Widdi; Datan kena madaya;

Maksudnya, kurang lebih :
Wahai para murid semua, Supaya berlatihlah dengan sungguh-sungguh, Usahakan menjadi tekad; Namun usahakan jangan sampai kurang sempurna Cangkok dan isinya; Apabila sampai tidak lengkap salah satunya; Sesungguhnya hanya akan mendapatkan kerugian; Sebab Cuma berguru; Namun belumlah mengetahui apa yang dimaksud bersatunya ibarat (manunggaling semu) yang menjadi lambang Gaibnya Tuhan. Ini tidak bisa ditipu (dibuat main-main). (Yang dimaksud Cangkok yaitu wadah atau raga harus bersih termasuk makanannya – Tata lahir – laku perbuatan; Isi – yang diwadahi – yang menetapkan tata kelahiran – Ngelmu atau ilmu yang telah didalami – Persiapkan wadahnya dahulu barulah ilmu bisa masuk – bertapalah dahulu barulah mendapatkan ilmu).

3.
Supadine ing tyas datan pangling,; Lukitane ingkang sastra ceta; Ingkang mangka darsanane; Wong kang berbudi cukup; Anyukupi sapati urip; Uripe aneng donya; Prapteng janjinipun; Sayekti datan kewran; Denira mrih prasta pulasta panusti; Estina kena kana.

Maksudnya, kurang lebih :
Usahakan dalam bathin jangan sampai tidak mengenal, makna indahnya ilmu yang nyata, yang bisa  dijadikan contoh tauladan (adalah), orang yang berbudi cukup, yang telah cukup (ilmunya) dalam menghadapi hidup dan matinya, hidup dalam dunia sampai matinya, sungguh tidak bakalan salah jalan atau tersesat dalam menghadapi kematian, agar selalu bersiap diri dan berbekal dalam  menghadapi kematian dan kehidupannya.
Sastra Ceta adalah ilmu yang yang nyata yang tidak tertulis tapi bisa dibaca (hilangnya papan tanpa tulis). Orang yang telah memahami Sastra ceta akan pandai tanpa guru yaitu orang yang telah mendapatkan pencerahan cahaya Tuhan. Dalam memahami bahasa keilmuan jawa harus menggunakan nalar dan perenungan yang dalam, sebab banyak sekali makna yang tersirat yaitu seribu makna di balik kata. Untuk bisa memahami sastra ceta adalah dengan mengusai Sastra jendra hayu ningrat pangruwating diyu, suatu ilmu untuk menuju keselamatan diri sebagai pelebur angkara murka. Ilmu ini bisa dicapai tanpa guru dan hanya bisa dicapai oleh orang yang gigih berjuang dan telah bisa mengalahkan hawa nafsunya sehingga bisa mendapatkan pencerahan dari Tuhan. Ada juga perkataan : Jangka Jaya Baya Raja ing Kediri, ini selain bermakna ramalan juga bermakna keilmuan, yaitu Jangka – melangkah, Jaya – menang, Baya (terhadap) – bahaya, (Apabila bisa menjadi) – Raja, di dalam dirinya sendiri).  

4.
Sakamantyan denira angudi, Widadaning ingkang saniskara, Karana tan kena mlesed, Surasaning kang ngelmu, Nora kena madayeng jangji, Karana mung sapisan, Purihen den kumpul, Gusti kalawan kawula, dumadine dinadak bisa umanjing satu mungging rimbagan.

Maksudnya, kurang lebih :
Usahakan terus-menerus ketika dirimu dalam pencarian, dan usahakan agar semua bisa selamat sejahtera, sebab makna dan isi ilmu tidak boleh salah tafsir, makna yang sesungguhnya tidak boleh diputar balikan, maknanya hanya satu, usahakan untuk bisa menyatu antara ilmunya Tuhan ke dalam diri, sehingga dengan seketika bisa menyatu dengan diri pada saat ada keperluan mendadak.

5.
Yen rinasa surasane manis, Temah dadya hardening wardaya, Saking dahat dennya ngame, Marma den bisa nggilud, Giludane among patitis, Ttitikane den kena, neme yen ketemu, Nemu sosotya kencana, Hudjwalane sarpakenaka nelahi, Sumorot sorotira.

Maksudnya, kurang lebih :
(Ilmu) apabila dihayati, maknanya sangatlah memikat hati, sehingga bisa menyebabkan sangat bernafsu dan terburu-buru, di sembarang tempat selalu dibuat bahan pembicaraan. Sebaiknya bisa bisalah menempatkan inti sari ilmu. Apabila telah berhasil menemukan. Bagaikan menemukan intan berlian yang cahayanya menerangi jiwa, sehingga jiwa akan bercahaya yang cahayanya sangat menyilaukan.

6.
Anyoroti padanging Hyang Rawi, Isining rat karatan sedaya, Yekti tan nana petenge, Nanging arang kang nggayuh, Gayuhane tepa palupi, Pilih-pilih kang nyandak, Sarkaraning made, Dumununganing aninang, Nora adoh nora perak sedeng ugi, Gepokane tur cekap.

Maksudnya, kurang lebih :
Cahayanya melebihi terangnya matahari. Merata menyinari seluruh isi jagad raya sehingga tiadalah kegelapan. Namun sangatlah jarang yang bisa menguasai. Apabila benar-benar berhasil dirinya akan menjadi manusia panutan. Hanya orang-orang terpilihlah yang berhasil menguasai dan memahami inti sari manisnya madu (Ilmu sejati), yaitu tempat singgasana Tuhan. Tidak jauh, tidak dekat, tidak juga sedang. Pengaruhnya sangat menguasai merata seluruhnya.
aninang, adalah sandi dari Tuhan Yang Maha Wenang; Hanya bisa dipahami oleh manusia terpilih. Atau dalam keheningan jiwa yang telah terbuka yaitu Para ahli ilmu tasafuf tingkat tinggi. Aninang dalam salah satu Serat Syeh Siti Jenar diungkapkan dengan kata Uninong Ananing Unang; Sedangkan penyusun berpendapat dengan kata Uninang Ananing Anung, yaitu Tuhan Yang Maha Wenang, Maha Wening dan Maha Agung. Dan kata ini oleh Sunan Kalijaga diujudkan dengan gending yaitu musik jawa yang sangat sempurna  yaitu dari berkumpulnya berbagai macam alat music; Ada alat music pukul, tiup, gesek yang menimbulkan berbagai macam bunyi yang bunyinya jika diringkas akan berbunyi Nang, neng, nong, ning, nung atau ning nong ning gung. Dan untuk mengawali; mengakhiri membuat cepat atau lambat tempo musiknya dikendalikan oleh suara kendang yang berbunyi tak ndang-tak ndang – segeralah melangkah untuk menuju ……yang diakhiri oleh suara gong yang berbunyi Gung ( Maha Agung).  Musik jawa dirancang untuk menggugah hati guna  mengagungkan Tuhan. Karena keindahannya orang barat menyebutnya dengan nama Orkestra Java.
Sunan  Kalijaga mampu mengkristalisasikan music jawa karena tingkat ilmunya melampaui wali yang lain dikarenakan ketika beliau bertanya kepada Sunan  Bonang Mursyid dan Gurunya tentang Ilmu Ketuhanan; Sang Guru tidak bisa menjawab, sehingga Sunan Kalijaga berkelana masuk ke dalam Samudra Ma’rifat hingga mendapatkan ilmu Hakekat Ketuhanan setelah mendapatkan pencerahan dari yang Maha Bercahaya yang dilewatkan Nabi Khidir, AS. Ini menunjukan bahwa ketika Mursyid tidak mampu menjawab pertanyaan Sang Murid, dan jika Sang Murid tidak patah semangat dan terus berusaha berjuang menuju Tuhan, maka Tuhan akan turun langsung mengajari sang pencari. Murid yang demikian tingkat atau Maqomnya akan melampaui sang Mursyid, dan kelanjutannya Sang Murid tersebut akan menjadi wali panutan untuk para Mursyid selanjutnya. Sunan Kalijaga meninggalkan buku berjudu Suluk Linglung Sunan  Kalijaga (Syeh Melaya – nama lain Sang Sunan).

7.
Cepakane pepak amepeki, parandene teka nora gampang, Pambudinea kadang cewet, Weya graitanipun, Saking ulab kalaban dening, Harda hardening nala, Sruning tyas kayungyun, Kayungyun marang katresnan, Iku mangka bencana dirgameng pati, Patine tanpa sedya.

Maksudnya, kurang lebih :
Sarana atau perabot yang digunakan untuk mengetahui guna memahami ilmu telah siap dan lengkap serta siap untuk digunakan. Akan tetapi sungguh tidaklah mudah. Justru kadang penggunaannya tidaklah tepat. Dikarenakan laku atau tindakan yang sembrono atau sembarangan. Itu semua dikarenakan terdorong oleh hati yang sangat bernafsu sehingga tertutup oleh hawa nafsunya sendiri, yang dikarenakan tidak tidak sabar, segera ingin berhasil. Yang demikian sangatlah berbahaya yang justru akan menyesatkan ketika menghadapi ajal, sehingga matinya tidak sempurna atau bahkan tersesat jalan masuk ke alam jim, setan demit, dll.

8.
Saya harda hardening pambudi, Budidaya madya lan utama, Utameng rat sesemune, Marma den bisa mbesut, Besutane kang tirta wening, Wening wenes kalintang, Tanpa sama tuhu, Satuhuning kasunyatan, Kanyatan kang sami dipun lampahi, Wiwitan lan wekasan.

Maksudnya, kurang lebih :
Semakin bersemangat dalam belajar keilmuan. Usahanya dari tingkat menengah sampai ke tingkat atas. Namun kesemuanya itu bagaikan ibarat. Kesemuanya itu harus dengan jalan bisa menghaluskan dan bisa menyaring. Menyaring dari air yang telah bening. Bening yang benar-benar suci. Itulah kenyataan yang sebenarnya yang harus dijalani dari mulai awal sampai dengan akhirnya (Sangkan paraning dumadi yaitu asal dan kembalinya segala ujud).

9.
Wekasane mung ngantebi pati, Parandene meksa masih awrat, Kalindih dening panggawe, kira-kiranen kalbu, Sapa baya bisa amesti, Jer ta pan during ana, Wong milulu layu, Konus konas saking atma, Nadyan silih sampun wreda kaki-kaki, Maksih sungkan kewala.

Maksudnya, kurang lebih :
Pada akhirnya ilmunya hanya ditujukan untuk bekal menghadapi mati. Akan tetapi masih merasa berat dalam menghadapi mati. Dikarenakan masih banyak cita-citanya yang belum tercapai. Sebelum mengadapi mati tatalah terlebih dahulu hatinya. Barangkali bisa mengetahui kapan ajal menjemput. Sebab belum ada seorang manusiapun yang bisa mengetahui saat kematiannya tanpa ada sebab apa-apa. Walaupun telah berumur tuapun dan bahkan sudah pikun, akan tetapi masih tetap sungkan atau belum mau meninggal dunia.

10.
Yen muhunga awet amanitis, Pan tinitah dumadi manungsa, Sinung harja bungah kehe, Sapira kadaripun, Aneng donya pan nora lami, Lire pan nora dawa, Umur sewu tahun, Lamun nora ngawruhana, Angrfawuhi marang jamaning kapatin, Sayekti dadi tuna.

Maksudnya, kurang lebih :
Apabila berkali-kali Cuma hanya menitis saja. Hidup dilahirkan kembali menjadi manusia yang selalu mengalami senang dan susah, apalah gunya hidup. Kehidupan dunia tidak mungkin lama. Tidak bakalan mungkin hidupnya bisa mencapai umur seribu tahun. Jika tidak mengetahui betul. Ilmunya mati. Sungguh kerugian yang teramat besar.

11.
Tuna dungkap kaulahing piker, Pan kapiran jamaning ngakherat, Sakarate yekti suwe, Suwe nuruti perlu, Perlu mati pijer mendelik, Kelike nora nana, Anane mung kuwur, Baliwur tan wruh hing marga, Marga beda bedane tanpa pinikir, Mungkir tinggal Agama.

Maksudnya, kurang lebih :
Tertipulah alam pikirnya. Karena tidak memahami kehidupan akherat. Sekarat-nya pasti lama. Ini diakibatkan masih bayak keinginannya sehingga belum ikhlas untuk mati. Lepasnya nyawa teramat susah. Ini dikarenakan ketenangan jiwanya tidak ada. Jiwanya mengalami kebingungan yang teramat sangat. Dikarenakan tidak mengetahui jalan kematian yang harus ditempuh. Sebagai akibat tidak mengetahui arah tujuan dikarenakan menjauhi jalan Agama.

12.
Agamane ingkang luwih suci, Anuceni Dat kalawan Sifat, Sifat murah salamine, Marma den bisa mikul. Pikulane Ajwa katembing, Titimbangane ana, Iku paminipun, Nimpuna sandang lan pangan, Nora kena pinisah salah sawiji, Wajibe babarengan.

Maksudnya, kurang lebih :
Agama yang dianut adalah agama yang suci. Yang mensucikan Dzat dan Sifat Tuhan. Yaitu sifat maha murah selamanya. Maka seharusnya biosalah memikul tanggung jawab hidup dengan seimbang. Jangan sampai berat salah satunya. Itulah ibaratnya. Dalam mencari kebutuhan hidup yang berupa sandang dan pangan, janganlah dipisah hanya memilih salah satunya saja. Haruslah bersamaan.

13.
Kena uga kalamun siniring, Maring wong kang angupaya pangan, Saben dina nyambutgawe, Amrih kencenging waduk, Waduk iku wadahing urip, uripe saking sedya, Sedyane mrih cukup, Nyukupi njaba njro amba. Babarane bineber ngeberi budi, Budaya kang sanyata.

Maksudnya, kurang lebih :
Boleh juga memilih salah satu. Bagi orang dalam mencari makan. Tiap hari kerja keras agar terpuaskan kebutuhan perut. Kenyangnya hanya  sebatas untuk mempertahankan hidup. Hidupnya untuk mengejar keinginan.  Agar mencukupi. Mencukupi luar dalam yaitu jasmani dan rokhani. Ketika digelar Nampak pada budi pekerti. Yaitu berbudi luhur.

14.
Kanyatahaning urip puniki, Tan liyan saking gebyaring busana, Tiba sa-enggon-enggone, Pan Nora Tibeng saru, Surupana ruruba yekti, Yektine ajwa sulap, Mring Sulapanipun, Budine den kongsi kena, Nanging ajwa sira udi saben ari, Ajwa pegat tyasira.

Maksudnya, kurang lebih :
Kenyatan hidup yang bisa dilihat. Tidak lain dari indahnya busana (Busana jiwa adalah ilmu luhur). Di setiap tempat tidaklah memalukan. Tapi ketahuilah untuk apa sesungguhnya berpakaian itu. Janganlah sampai tertipu. Carilah makna sesungguhnya.  Tapi jangan dicari tiap hari. Jangan putus kewaspadaan jiwa.

Tembang Megatruh :

1.
Sanityasa denira paring wuwuruk, Marsepuh sang maha yekti, Tinumpa-tumpa tinumpuk, Pinanta-panta pinesti, Saniskaraning pangawroh.

Maksudnya, kurang lebih :
Haruslah selalu urut ketika engkau menyampaikan ajaran. Selaku orang tua  ketika engkau telah bisa menjadi guru. Ilmunya ditumpahkan semua. Ditata urut  menurut tingkatan masing-masing. Diajarkan menurut tingkat ajaran masing-masing.

2.
Pan liningga salingga sawanda wujud, Wujude pan dadi wiji. Mijeni jagad sawegung, Saking kodrating Widdi, Kasamadan Dating Manon.

Maksudnya, kurang lebih :
Digolong-golongkan dibagi seperti barang yang berujud. Tiap bagianya akan menjadi benih. Sebagai cikal bakal isi jaga raya. Yang adanya dari dari ciptaan Tuhan. Yang kesemuanya selalu terjaga oleh Yang Maha Memelihara.

3.
Amanoni pamulune kadi wungwung, Kukuwunge mingit-mingit, Piningit tan kena konus, Yen konus ngenesi ati, Mulat gebyaring pamor.

Maksudnya, kurang lebih :
Memahami kesucian-Nya bagaikan melihat cahaya-cahaya. Sinarnya sangatlah bercahaya. Agar dirahasiakan jangan sampai diajarkan. Jika diajarkan akan menggetarkan hati. Bagi siapa saja yang melihat indahnya cahaya yang Maha Bercahaya.

4.
Dasar pemor pamore andamar murub. Bener ingkang kekes wingwrin, Rumangsa kasoran ampuh. Pupuhe tuhu patitis, Titi datan atumpang-suh.

Maksudnya, kurang lebih :
Indahnya Cahaya Tuhan bagaikan andamar murub (Jenis pamor dalam ilmu perkerisan). Sehingga benarlah bisa menyebabkan rasa berkecil hati yang teramat sangat. Merasa benar-benar tidak punya daya kekuatan apapun dikarenakan kalah wibawa. Keampuhannya sangatlah nyata. Jika diajarkan haruslah dengan cara yang teliti jangan sampai tumpang tindih.

5.
Yen tenanting tintingane tuhu kukuh, Kukuhe nora ngencengi, Kenceng kinarya pangayun, Tarincing kinanten wuri, Cak-cakane nora moncol.

Maksudnya, kurang lebih :
Ilmu, jika didalami sangatlah kuat. Kuat ikatannya tidak menyesakan dada. Kekuatannya jadikanlah sebagai tekad. Agar ringanlah di belakang hari. Ketika diterapkan pada saat ada keperluan, tidaklah berlebihan dan tidak menimbulkan masalah baru.

6.
Cakep cukup nyukupi yen ulah rembug. Rembuge tan katon nggitik, Gitikane urun-urun, Nguruni dadining ngelmi. Karya sukaning ponang wong.

Maksudnya, kurang lebih :
Indah, tepat, jelas dan menjelaskan dengan jelas ketika ilmunya digunakan dalam bermusyawarah. Keterangannya tidaklah Nampak mengkritik ataupun pamer ilmu. Ketika muncul sebuah kritikan hanyalah untuk mengingatkan saja dengan cara yang halus agar membikin setiap hati orang menjadi senang.

7.
Wuwuh-wuwuh amuwuhi kawruhipun, Pantese wong ciptayekti, Tan amrih karya panggunggung, Gunggunge ugungan dadi, Tinitah pandita kaot.

Maksudnya, kurang lebih :
Lebih-lebih bila b isa menjadikan tambah luasnya ilmu. Sungguh itu yang menjadi sifat dari orang yang berilmu tinggi. Semua tindakannya bukan untuk pamer akan tetapi semata-mata hanya untuk menyenangkan hati orang lain . Sama sekali tidak mengharapkan penghormatan diri. Sebab tingkatannya sudah mencapai tingkat waskita bagaikan seorang Bagawan yang berilmu tinggi.

8.
Kaot mencit wasistaning ulah tanduk, dudugane tan katembing, Tumambirang kaduk purun, Purune nora nyampahi, Marang ngelmu kang wis manggon.

Maksudnya, kurang lebih :
Dengan orang lain bedanya sangatlah jauh dalam hal kecedasan dan juga sikap perilakunya. Tindakannya penuh perhitungan dan keselarasan yang dijadikan pedoman. Keberaniannya bagaikan perjaka, digunakan tidak untuk mengutuk. Dari ilmu yang telah mengendap.

9.
Panggonane tapa brata pitung wektu, Dene tapa kang sawidji, Tapaning jasad puniku, Ajwa darbe asak serik, Narima terusing batos.

Maksudnya, kurang lebih :
Jenis bertapa terbagi menjadi tujuh macam. Untuk tapa yang pertama adalah tapanya jasad. Janganlah mempunyai sifat benci. Ikhlaslah selalu dalam tata lahir sampai ke dalam relung hati walau tersakiti.

10.
Kaping kalih ya tapa satuhu, Lah iya tapaning budi, Amung tapa temenipun, Nyepena nista lan nistip, Ngicalana ati goroh.

Maksudnya, kurang lebih :
Jenis tapa yang kedua adalah. Sesungguhnya bertapa. Yaitu tapanya budi. Dengan cara bertapa menyelaraskan antara hati, ucapan dan tindakan. Jauhi perbuatan nista dan sia-sia. Hilangkanlah hati yang dusta.

11.
Kaping tiga ya tapaning hawa napsu, Nglakokna sabar lan alim, Ngaksama sasaminipun, Nadyan sira pinisakit, Tuwakupa mring Hyang Manon.

Maksudnya, kurang lebih :
Yang ke tiga tapanya hawa nafsu. Dengan cara menjalankan sabar dan alim. Memafkan kesalahan sesame. Walau dirimu tersakiti. Percayalah kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa.

12.
Ingkang kocap tapa brata kaping catur, Ya Tapaning rasa sejati, Eneng eningena kalbu, Mesuwa puja semedi, Eneng ening amesti dados.

Maksudnya, kurang lebih :
Yang disebut tapa brata yang ke empat. Yaitu tapanya sang rasa sejati (Ilmu rasa). Tenang dan heningnya kalbu. Selalu memuji dan merenungi (Tafakur) dalam hati tentang Tuhan. Tenang, hening yang dicitakan pasti terjadi.

13.
KAping lima tapaning suksma puniku, Gelara marta martini, Lega legawaning kalbu, Ajwa munasikeng janmi, Amomonga atining wong.

Maksudnya, kurang lebih :
Yang ke lima tapanya Sukma. Ini masalah batin. Apabila diuraikan dengan kata-kata kurang lebihnya yaitu dengan cara bersikap rendah hati serta selalu berusaha menyenangkan hati orang lain. Hatinya selalu dalam keadaan ikhlas. Serta berpantang untuk tidak menyakiti sesame hidup. Harus bisa mengasuh (momong) hati setiap orang.

14.
Kaping nenem tapaning cahya umancur, Waskita kalawan eling, Datan samar ing pandulu, Eling panuntun basuki, Kadarman ati mancorong.

Maksudnya, kurang lebih :
Yang ke enam tapanya cahaya yang memancar. Hatinya tiada tertipu didalam segala keadaan serta selalu ingat akan Tuhan sepenuh hatinya. Selalu paham atas segala kepalsuan dan segala kenyataan. Selalu ingat pada segala hal sebagai pedoman sehingga selalu dalam keselamatan.

15.
Kaping pitu ya tapaning uripipun, Santosa den ngati-ati, Akantiya teguh timbul, Ajwa was sumelang galih, Ngandela maring Hyang Manon.

Maksudnya, kurang lebih :
Yang ke tujuh yaitu tapanya anugrah hidup dari Tuhan. Menyadari bahwa daya hidup yang ada pada dirinya bersumber dari Tuhan. Harus selalu menggunakan kekuatan budi yang terletak pada jiwa yang terlatih, dan selalu berhati-hati dalam segala tindakannya. Atau selalu berhati-hati menanggapi cetusan cipta dari hati dan dari penalaran pikiran. Juga harus disyarati dengan keteguhan iman ketika menghadapi cetusan hasrat yang sangat cepatnya berganti-ganti. Tiada rasa kuatir di hati dan selalu pasrah atas segala takdir Tuhan.

16.
Ketokane ketoken bongkot lan pucuk, samono bae nyukupi, Pan ora mumurung laku, Lakon anglakoni mati, amancat sakratil maut.

Maksudnya, kurang lebih :
Intisari dari semua laku tapa tersebut adalah terletak pada tapa yang terakhir dan yang pertama. Itu saja sudah cukup. Sehingga tidak menghalangi jalan. Jalan di saat ajal. Pada saat sakaratul maut.

17.
Mung sakedep netra pangancase mangsuk. Umanjing surup ing pati, Patitis jagad kinukut, Kukudan sedya sawiji, Rinasuk manjing karaton.

Maksudnya, kurang lebih :
Sakaratulmautnya hanya sekejab saja. Sudah masuk alam kematian. Alam dunia digulung dengan tepat. Dalam menggulung jagad hanya satu tekad yaitu untuk masuk ke dalam singgasana.

18.
Nanging dudu karaton ingkang kadulu, Yen kadulu niniwasi, Katiwasan patinipun, Tibeng sasar dadya demit, Manjing watu lan kakayon.

Maksudnya, kurang lebih :
Namun bukan singgasana yang terlihat mata. Jika terlihat pasti akan menyesatkan pada saat kematiannya. Dan jika tersesat akan menjadi demit. Bertempat dan sebagai penunggu batu ataupun pepohonan.

19.
Kayu watu ginelar dadya swarga gung, Sinaskara amenuhi sarwa endah adiluhung, Dipun enggeni, Awor brekasakan lan jrangkong.

Maksudnya, kurang lebih :
Kayu dan batu dianggap sebagai sorga yang menyenangkan. Serta mencukupi segala keperluannya. Tapi itu semuanya sungguh menyesatkan dengan segala keindahannya yang Nampak. Jika bertempat tinggal di situ akan bergabung dengan alam jin tingkat bawah yaitu alam brekasakan dan hantu yang berbentuk rangka manusia.

20.
Pindo gawe gagaweyan nora weruh, Weruhe uwus winalik, Walikaning salang surup, Sumurup salah panampi, Tampane kajelomprong.

Maksudnya, kurang lebih :
Dalam  kematiannya selalu dua kali kerja dikarenakan tidak mengetahui kematian yang benar. Bisanya mengerti yang sesungguhnya, setelah semuanya menjadi terbalik. Ini dikarenakan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah di karenakan salah tafsir dalam pemahamannya. Hasilnya adalah terjerumus dan tersesat.

21.
Marma dipun santosa ateguh timbul, Kanti awas lawan eling, Ajwa samar ing pandulu, Karaton ingkang sajati, Jatine nora katongton.

Maksudnya, kurang lebih :
Makanya perteguhlah iman. Dengan jalan selalu ingat Tuhan dan selalu waspada. Jangan sampai tertipu kepalsuan karena salah lihat. Pada singgasana yang asli. Singgasana yang sesungguhnya tidak terlihat.

22.
Tampa terus nerusi lumebeng bumbung, Bumbunganing setroli, Padange kalangkung-langkung, Langgeng nora owah gingsir, Sire mulih Dating Manon.

Maksudnya, kurang lebih :
Konsentrasilah pada saat memasuki alam kematian. Yang terlihat paertama adalah alam yang bercahaya. Cahanya sangatlah terang. Cahayanya langgeng dan tidak berubah-ubah. Itulah jalan utnuk menyatu dengan Tuhan.

23.
Meneng langgeng nora obah nora wuwus, Nora mulad sargadi, Pan nora rumangsa ngeyub, Ngalela lenge don ati. Dadi Nabi – Wali amor.

Maksudnya, kurang lebih :
Tenang, abadi, tiada gerak, tiada perkataan. Tiada melihat sorga. Tidak merasa bernaung. Yang ada hanya tenangnya hati. Akhirnya berkumpul dengan Roh Para Nabi dan Para Wali.

24.
Gambir wungu nora cidra jektinipun, Lamun kang marsudeng gaib, Liningkab lingkabanipun, Nora was nora kuwatir, Ngandel caloroting batos.

Maksudnya, kurang lebih :
Alam yang demikian sungguh sangatlah nyata. Bagi siapa saja yang telah berhasil lulus belajar ilmu kegaiban. Semua penghalang apapun akan terbuka. Tiada rasa kuatir. Percayalah pada tenangnya batin.

25.
Warsitengsun ring sira wus tamat kulup, Mangkya ingsun minta pamit, Arsa mulih mring don luhung, Amung kurang limang sasi, Salameta putraning-ngong.

Maksudnya, kurang lebih :
Wasiatku pada dirimu, telah tamat wahai putraku. Sekarang aku mesti pamit. Sebab akan pulang ke tempat yang luhur. Hanya kurang lima bulan saja. Sepeninggalku semoga dirimu selamat anaku.

26.
Ngong pupuji muga Hyang Kang Maha Luhur, Paringa nugraha jati, Maring sira putraningsun, Dadya mukaning wadyadji. Tumrap maring siwayengong.

Maksudnya, kurang lebih :
Do’a-ku, semoga Yang Maha Luhur. Selalu memberi berkah yang sejati. Kepada dirimu putraku. Semoga menjadi pemimpin bangsa sampai ke anak cucu.

27.
Yektenana sajroning wolung taun. Pulanggana wus kaeksi, Wartane kang para jamhur, Iku sidaning kadadin, Adining tapa wus manggon.

Maksudnya, kurang lebih :
Perhatikanlah dalam tempo delapan tahun lagi. Sasmita telah Nampak. Kabar dari para pertapa. Itu sejatinya kejadian.

Itulah terjemahan bebas yang mampu kami tulis. Makna sesungguhnya masih tetap menjadi rahasia Sang Penulis aslinya. Sebab, bahasanya adalah bahasa puitis yang berbentuk tembang. Pastilah banyak sekali makna yang tersirat dari pada makna tersurat. Banyak orang memahami setiap arti kata yang tertulis, tapi belum tentu memahami maksud dari yang dikehendaki oleh penulis. Jalma limpat seprapat tamat, belajar baru sampai seperempat bagian telah menguasai seluruh isinya. Itulah harapan penulis semoga tetap terjaga karya sastra Pujangga Jawa.

Raaaaaa ha yuuuuuuuuuuu. Nuwun.


TEMBANG  KUSUMAWICITRA (CATUR YOGA)

1.
Manawi dumugi ing jaman Kaliyoga; Mboten wonten ingkang nglangkungi tiyang sugih, Boten kocap tiyang ingkang guna;  ingkang prawira, Utawi Pandhita putus; Sadaya sami merak anembah dateng tiyang sugih.
2.
Ing jaman ngriku bangsaning Pandhita sirna, Lawan bangsaning Ratu samimlarat kawelas asih; Anak sami purun dipun pitenah; Para pandhita sami nglampahaken dados nahkoda.
3.
Bui tansah gonjing, Jagad tansah dahuru; Ratu kekirangan arta, Tansah pinisungsungan ing tiyang sugih; Sagung ingkang ulah pedamelan sami nurut ingepahan; Seganten mili dateng lepen.
4.
Tiyang bebet (darah) asor wangsul dados tiyang luhur; Kamurkanipun tiyang saya anglangkungi; Sang Ratu kalumuhan dateng Sang Pandhita; Boten wonten ingkang anglampahi panembah.
5.
Kaliyan wedaling kaluhuran saking dipun saranani arta; Karanten Sang Ratu kawisesa dateng tiyang sugih; Tiyang salah dados awet ing ndamel; Tiyang leres dados katiwar-tiwar; Awit saking melarat.
6.
Tiyang murka sangsaya andadra dados angsal panggenan; Tiyang sabar wekasan dados kirang paramarta; Tiyang dursila durjana sami adamel cilakanipun tiyang sepuhipun.
7.
Sang Ratu sasat suwita dateng Papatih; Sagung ingkang andum sami amilih; Pratingkahipun sawenang-wenang; Ical berkating bumi; Sami kasrakat; Kadosta oyod-oyodan; Gegodhongan, woh-wohan sami tanpa guna.
8
Ingkang saged, ingkang kuwasa, Boten angresepi ing jagad; Bangsa Pandhita, Satriya, Waisya; Miwah bangsa Sudra, Sami tunggil padamelan; Karanten sajagad sami angaken saged; Sami ngegung aken dhiri; Boten wonten ingkang purun kasoran.
9.
Tiyang ulah sastra tuwin puja samadi boten wonten ingkang anut ing pamardining Pandhita; Tanpa damel; Sagung japa mantra boten wonten ingkang katarimah; Adil hukum boten anglabeti; Temah dados durgama.
10.
Sami rebah ing sekar cempaka; hangsoka, hangsana, cendhana, wungu, kenanga, surastri, nagasari, Sadaya wit ipun sirna sami winadungan; tinegoran, tinutuhan, kaprapalan erining pung secang lawan pilang.
11.
Sakhatahing peksi: Merak, banyak, dhandhang, bango, sapanungilanipun, sami lebur pinasangan pikat lajeng sinengkeran; Ingkang suka bingah namung : segawon, babi, sami ingopenan, pinilala tinuwukan erah kalihan daging.
12.
Salebeting jaman Kaliyoga, sakathahing tiyang sami langkung angkaramurka; Tansah tukar arebar kaluhuran; Tiyang sajagad sami boten uninga ddateng sedherek, Mengsah ingkang sampun kathah cacadipun rinangkul minangka kanthi.
13.
Wewalering Dewa tinarajang; Sakaathahing candhi rinisakan; Kabuyutan boten wonten damelipun; Sami samun sagung cariyos papakem; Kagunan, kasantikan, sami linebur dening tiyang bodho ingkang murka ing jagad.
14.
Kacariyos ingkang jaman punika saestunipun sakawan; Ingkang wiwitan nama jaman Kretayoga; Sang Hyang Pramana ingkang dados witing ngagesang; Punika prenahipun wonten pulunging galih; Saweg taksih siniwi ing Swarga.
15.
Kaping kalih jaman Tirtayoga; Prenahipun Sang Hyang Pramana wonten samadyaning paningal; Kaping tiga jaman Dweparayoga; Prenahipun Sang Hyang Pramana (Sang Hyang Atma) wonten ing daging lawn erah.
16.
Kaping sekawan Jaman Kaliyoga; Sang Hyang Pramana manggen ing kulit lawan wulu puhun; Dene yen jaman Kretayoga yuswaning Sang Hyang Pramana sakethi taun.
17.
Ing jaman Tirtayoga punika gesanging Sang Hayng Pramana dumugi saleksa taun; Ing Jaman Dweparayoga yuswa sewu taun langkung satus taun kalihan satus wulan.
18.
Yen Jaman Kaliyoga punika yuswanipun enggal-enggal; Kados upaminipun gebyaring kilat wonten ing mendung; Kala ing Jaman Kretayoga; Wiwitipun ingkang dados perang putranipun Pandhita nama Dewi Naruki.
19.
Ing Jaman Tirtayoga; Jalaranipun ingkang dados perang ageng nama Dewi Sinta (Janaki); Ing Jaman Dweparayoga ingkang dados wiwitaning perang Dewi Drupadi; Kocap Putri linuwih.
20.
Ing Jaman Kaliyoga kathah ingkang dados sababipun perang ageng inggih punika; Pawestri, Siti, miwah rajabrana; Mila kaenget-engeta; Sang sujana sampun pijer olah arta; Amrih dhateng tiyang estri.

Pepeling : Kapendhet saking Ilmu Kantong Bolong (oleh : Sosro Kartono)

Ngawula marang kawulane Gusti, lan memayu-hayuning urip,
Nulung pepadane, ora nganggo mikir wayah, waduk, kantong,
Yen ana isi, lumuntur marang sesami

Terimah mawi pasrah,
Suwung Pamrih, tebih ajrih,
Langgeng, tan ana susah, tan ana bungah,
Anteng, manteng, sugeng, jeneng.

Sakti tanpa aji, Sugih tanpa bandha,
Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake,
Nadyan landhep tan natoni,
Nadyan banter tan ngungkuli,
Nadyan pinter tan ngguroni,

(Pen Sanjaya)